Dua Pasang Hati

Kamis, 21 Mei 2015 - 09:33 WIB
Dua Pasang Hati
Dua Pasang Hati
A A A
Hihihi,” begitu kata seorang perawat sambil berangan-angan tentang Keenan. Lara menatapnya bingung, dalam hati dia berkata, ramah... baik Dasar musang berbulu ayam, bisa banget sih nyiptain kepribadian berbeda kayak gitu.

”Iya ya, tuh gue setuju. Coba bayangin lo punya suami kayak Dokter Keenan. Ganteng, baik.. sayang anak-anak, ramah sama pasien, pinter, cool . Lengkap banget deh pokoknya, kayak mie goreng pake telor!” celetuk rekan dari suster tersebut. Selanjutnya dua perawat cantik itu tersenyum kesenangan, ketika idola mereka muncul di hadapan mereka.

Keduanya saling melempar senyum paling manis pada dokter itu, untuk menarik perhatian Keenan, yang sayangnya diacuhkan oleh cowok itu, ketika ia disambangi oleh salah satu suami dari pasiennya. Lara terkikik senang begitu mendapati dua perawat itu saling bersungut-sungut. Lara terkesiap, baru ia sadari kenapa ada perasaan senang saat Keenan tidak membalas senyum dua gadis itu.

Ah, Lara mencoba menangkis pikiran bulusnya lagi. Ia menyibukkan dirinya dengan membaca data-data dari Dodo, yang hari ini membawa furnitur yang akan diletakkan di ruang dokter tersebut. Dodo tampak rapi dengan kemeja bermotif batik miliknya. Kali ini, rambutnya tidak sekribo dulu. Ia sudah mengguntingnya hingga membuatnya terlihat lebih segar.

Dodo menyerahkan data-data selanjutnya pada Lara agar dapat diperiksa apakah sudah sesuai catatan terlampir milik Lara. Hari ini Lara terlihat lebih formal dari yang biasanya. Ia mengenakan rok span berwarna nude yang dipadukan dengan kemeja kerja berwarna putih lengan panjang.

Tak lupa sebuah kalung berwarna coklat muda bermotif bunga mempermanis penampilannya. Ia juga mengenakan high-heels sepanjang 7 cm, yang menonjolkan kaki pendeknya terlihat lebih jenjang. Perfecto ! Yang nampak berbeda dari penampilannya kali ini ialah, kacamata frame kotak dan berwarna coklat gelap, terlihat begitu serasi dengan riasan wajahnya yang natural, dengan lipstik merah muda yang dipoles di bibirnya.

Siapapun yang melihatnya pasti akan setuju jika penampilan Lara begitu memukau pagi ini. ”Hai, Lara.” Sebuah suara memanggil namanya. Lara segera membalikkan tubuhnya, sesaat suara yang tak lagi asing baginya memanggil namanya. ”Eh, halo, Di. Lagi istirahat ya lo?” tanya Lara dengan ramah. Cowok itu tersenyum dan mengangguk. Lara mendapati cowok itu tak bergeming beberapa saat, ketika Ardio malah memperhatikan dirinya from head to toe .

”Wih... gue nggak salah liat nih, Ra? Penampilan lo beda banget, hari ini. Keliatan cantik dan feminin,” ujar cowok itu sambil tersenyum hangat padanya. Perasaan Lara nggak enak seketika, waduh... kok si Ardio malah bilang gitu sih ke dia? Jangan aja nih si Echa tahu, bisa-bisa tamat riwayat persahabatan mereka. Nggak tahu kenapa nih, batin Lara seperti menangkap sesuatu yang berbeda dari Ardio.

Pria itu nggak biasanya memperhatikan penampilan Lara. Ia selalu fokus pada Echa, tunangannya. Terlebih lagi saat mereka lagi ngobrol, tak jarang cowok itu berkisah soal Echa, calon istrinya tersebut. Lara berusaha berpikir positif, mengendalikan otaknya agar berhenti berpikir tentang pujian Ardio padanya. Ia percaya jika Ardio bukanlah pria yang suka bermain hati di belakang kekasihnya.

Lara tahu betul perjuangan Ardio demi mendapatkan Echa yang sangat tidak mudah. Nggak mungkin kan, Ardio menyia-nyiakan Echa begitu saja? Apalagi mereka mau nikah. Dia juga percaya kalo Ardio tau betul arti persahabatan. Lara tersenyum pada Ardio, ”Thanks , Di. Iya, lagi bosen pake celana panjang terus. Sekali-kali boleh dong jadi cewek beneran?” dilanjutkan dengan senyum merekah dari wajah Ardio. ”Iya, bener tuh, Ra. Lo perlu sekalikali pake rok, biar nggak bosen liatnya.

” Cowok itu mengangguk setuju. Sejurus kemudian, mata cowok itu melirik jam tangannya, ”Gue balik kerja dulu ya, Ra. Ada pasien.” Dari kejauhan seorang pria tampak menoleh sebentar ke arah mereka berdua. Meski dari luar ia tampak begitu acuh dengan percakapan mereka tadi, entah kenapa batinnya terusik untuk terus menyelidiki pembicaraan mereka. Apa pantes dia berbuat setega itu sama sahabatnya sendiri? Batinnya berkata. (bersambung)

Oleh:
Vania M. Bernadette
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1033 seconds (0.1#10.140)